Menu Close

Penghayat Kepercayaan Merupakan Pelestari Nilai-nilai Budaya Luhur

Loading

LABUAN BAJO, Kominfomabar – Penghayat Kepercayaan merupakan pelestari nilai-nilai budaya luhur yang dianut oleh nenek moyang bangsa Indonesia sebagai bagian integral yang tak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Keberadaan Penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa turut mewarnai kemajemukan bangsa Indonesia yang terdiri dari bermacam-macam etnis, bahasa, agama, maupun budaya.

Hal tersebut disampaikan oleh Plt. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dr. Drs. Bahtiar, M.Si yang dibacakan Drs. Syarmadani, M.si Direktur Ketahanan Ekonomi, Sosial dan Budaya Ditjen Polpum Kemendagri pada kegiatan Evaluasi Terhadap Implementasi Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang, Kamis (12/3) di Labuan Bajo.

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu modal sosial dalam pengembangan perilaku yang meyakini nilai-nilai budaya yang lahir dan tumbuh dari leluhur Bangsa Indonesia. Eksistensi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Indonesia telah berkembang sejak zaman nenek moyang, bahkan jauh sebelum bangsa Indonesia terbentuk seperti yang kita kenal saat ini.

Kemajemukan tersebut tentu saja merupakan kazanah budaya dan sekaligus merupakan suatu tantangan dalam mewujudkan keutuhan dan persatuan nasional. Kemajemukan bangsa, baik dari segi agama maupun kepercayaan adalah keniscayaan yang sudah menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menjadi sebuah anugerah karena kita saling menghormati satu sama lain dan tidak perlu mempertentangkannya.

Syarmadani mengatakan beragama dan berkeyakinan merupakan hak asasi manusia, setiap orang bebas untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya.

Dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, katanya

Menurutnya hal ini sejalan dengan salah satu program dalam Nawa Cita yaitu memperteguh kebhinnekatunggalikaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekatunggalikaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.

Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan warga negara Republik Indonesia, oleh karena itu berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, harta benda, dan kebebasan meyakini kepercayaannya.

Pada tahun 1970 dibentuk Himpunan Penghayat Kepercayaan disingkat dengan HPK, yang saat itu jumlah perkumpulan penghayat kepercayaan ada 200 aliran. Pada tahun 1997 pemerintah memutuskan untuk memasukkan aliran kebatinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa ke dalam GBHN 1998.

“Dan sampai saat ini jumlah perkumpulan penghayat kepercayaan berjumlah kurang lebih 190 organisasi, yang terinventarisir di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Para penganut aliran atau penghayat kepercayaan kini semakin mendapat ruang di mata hukum,” jelasnya.

Terdapat beberapa produk hukum yang bertujuan untuk memelihara dan melindungi hak sipil penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yaitu, Perpres No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2007 dan UU yang menjadi payungnya, yakni UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk)

Kemudian Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) No. 43 dan 41 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelayanan Kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah Mengesahkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidkan.

Payung Hukum yang dikeluarkan oleh Pemerintah lanjut Syarmadani merupakan langkah Pemerintah untuk menghindari terjadinya bentuk diskriminatif terhadap kelompok penghayat, yang sampai saat ini masih dilakukan oleh sebagian masyarakat yang tidak mengetahui eksistensi kelompok penghayat di negara kita.

Dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pemerintah Daerah berkewajiban menjaga persatuan, kesatuan, kerukunan nasional, ketenteraman, ketertiban masyarakat, melaksanakan kehidupan demokrasi dan melindungi masyarakat dalam melestarikan nilai sosial budaya.

“Keberadaan PBM 43 dan 41 Tahun 2009 merupakan suatu terobosan yang telah banyak mengakomodasi kepentingan masyarakat penghayat, dan diharapkan dapat menjembatani kesenjangan yang diterima oleh para Penghayat Kepercayaan dalam memperoleh pelayanan atas hak-haknya,” paparnya

Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa dalam perjalanannya ternyata masih dijumpai adanya beberapa permasalahan dalam pelaksanaannya di daerah. “Hal tersebut antara lain disebabkan oleh belum terbangunnya kesadaran dan komitmen dari pemerintah daerah untuk mempedomani PBM, serta belum optimalnya upaya-upaya sosialisasi PBM dan peraturan perundangan lainnya yang terkait dengan pelayanan terhadap Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa,” ucapnya

PBM No. 43 dan No. 41 Tahun 2009, pada dasarnya berisi tentang pelayanan yang seharusnya diberikan oleh Pemerintah kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Pelayanan tersebut meliputi administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan, pemakaman, dan sasana sarasehan atau sebutan lainnya.

Walaupun telah banyak kebijakan pemerintah yang mengatur tentang pelayanan hak sipil, namun kaum penghayat masih mengalami kesulitan dalam mengakses layanan publik. Seperti pengisian Formulir di layanan publik tidak ada kolom penghayat. Hal itu berdampak pada sulitnya mengurus hak-hak sipil politik, seperti melamar pekerjaan, menikah dan mengakses layanan publik lainnya.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pencantuman aliran kepercayaan pada kolom agama di KTP el, maka penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk 6 (enam) agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.

Salah satu bentuk pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan menurut PBM adalah mengenai administrasi organisasi Penghayat Kepercayaan. Dengan telah ditetapkannya UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang, maka Pemerintah dan pemerintah daerah didorong untuk melakukan pemberdayaan Ormas dalam rangka meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas.

“Oleh karena itu kami menghimbau kepada pengurus organisasi penghayat yang mengikuti kegiatan ini agar mendaftarkan Organisasi nya,” imbuhnya

Melalui kegiatan ini, diharapkan berbagai persoalan dalam Implementasi Peraturan Perundang-undangan terkait pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa ini dapat didiskusikan bersama para Narasumber untuk dicarikan jalan pemecahannya sehingga dapat meningkatkan pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan serta terwujudnya sinergi program/kegiatan antara Pemerintah dan pemerintah daerah dalam pemberian pelayanan kepada Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, harapnya.

(Syarif ab)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *