Menu Close

Forum Perdamaian, Upaya Mencegah Konflik

Loading

LABUAN BAJO, 03 Oktober 2019 – Beragam suku, adat istiadat, agama, ras, golongan, dan banyaknya sumber daya alam ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi keragaman itu menjadi kekayaan yang membanggakan bangsa Indonesia, sementara di sisi yang lain keanekaragaman itu dapat juga berpotensi menimbulkan konflik.

Berbagai konflik yang terjadi akhir-akhir ini, akibat isu SARA, politik identitas yang dimainkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, telah turut membawa bangsa ini dalam kekhawatiran dan ancaman perpecahan.

Dalam upaya mencegah konflik tersebut, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia menyelenggarakan workshop Musyawarah Perencanaan Pembangunan Peka Perdamaian dan Pelembagaan Forum Perdamaian di aula Hotel Exotic, Labuan Bajo, Selasa (1/10).

Wakil Bupati Manggarai Barat, drh. Maria Geong,Ph.D., mengatakan, Labuan Bajo yang baru dideklarasikan sebagai Kota Bhineka Tunggal Ika pada awal tahun 2019 karena terdapat banyak etnis di dalamnya dipandang perlu adanya sebuah wadah yang dijadikan sebagai sarana untuk merekatkan dan mempersatukan perbedaan-perbedaan.

“Kami dukung adanya Forum Perdamaian karena Labuan Bajo sebagai kota pariwisata internasional menjadi tempat perjumpaan banyak orang dari berbagai lapisan, suku, agama dan bangsa dengan latar belakang budayanya masing-masing,” ungkap Maria Geong.

“Para wisatawan butuh rasa aman dan suasana damai sehingga mereka benar-benar menikmati apa yang mereka inginkan,” jelas Maria Geong.

Selanjutnya Maria Geong mengatakan pentingnya penguatan pemerintahan desa sebagai ujung tombak pencegahan konflik di tingkat bawah karena mereka mengenal dengan baik situasi dan permasalahan di wilayahnya.

“Salah satu cara menguatkan pemerintahan desa yakni bagaimana RT dapat dimasukan dalam sistem pemerintahan desa, dan untuk mendukung hal ini perlu adanya perda sebagai payung hukumnya,” ujar Maria Geong.

Dalam kaitan dengan peran pemerintah desa, Wakil Bupati Maria Geong juga menyoroti persoalan tanah yang menjadi salah satu masalah yang cukup rawan menimbulkan konflik.

“Desa dapat menjadi mediator untuk menyelesaikan permasalahan tanah dan juga batas wilayahnya untuk menghindari konflik,” tutur Maria Geong.

Sementara itu, Direktur Penanganan Daerah Pasca Konflik, Hasrul Edyar mengharapkan agar dari workshop ini dapat melahirkan sejumlah rekomendasi yang salah satunya adalah merintis perda yang mengatur hadirnya Forum Perdamaian di Manggarai Barat.

Selain itu, lanjut Hasrul Edyar, desa juga didorong untuk dapat membuat perdes untuk membentuk Forum Perdamaian.

“Desa dapat menggunakan dana desa untuk menyelesaikan dan mencegah terjadinya konflik dengan adanya perdes sebagai payung hukum,” jelas Hasrul Edyar mantan Wakil Bupati Aceh.

Kegiatan workshop ini berlangsung selama dua hari mulai tanggal 1 sampai dengan 2 Oktober 2019. Peserta yang turut serta dalam kegiatan tersebut berasal dari utusan kecamatan, kelurahan dan desa, tokoh perempuan, tokoh agama dan tokoh masyarakat.

Nara sumber yang tampil dalam kesempatan workshop tersebut adalah Direktur Penanganan Daerah Pasca Konflik pada Direktorat Jenderal Pengembangan Daerah Tertentu Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal RI, Hasrul Edyar,S.Sos.,M.AP., Muhamad Miqdad dari Institut Titian Perdamaian, Kepala BP4D Kabupaten Manggarai Barat, Drs. Fransiskus Sales Sodo, Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa Kabupaten Manggarai Barat, Mateus Ngabut,SH., Kepala Kesatuan Bangsa dan Politik, Drs. Paulus Selasa, dan Kasat Bimbingan Masyarakat Polres Manggarai Barat, IPTU. Simpronius Naro. (Arnoldus Nggorong)

pic by: Humas Manggarai Barat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *